Selasa, 23 Juni 2015

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Nomor Pokok Wajib Pajak biasa disingkat dengan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Fungsi NPWP

  1. Sarana dalam administrasi perpajakan.
  2. Tanda pengenal diri atau Identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
  4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.

Pendaftaran Untuk Mendapatkan NPWP

  • Berdasarkan sistem penaksiran sendiri untuk setiap WP wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, untuk diberikan NPWP.
  • Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
  • Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
  • Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
  • Wajib Pajak Orang Pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.

Tata cara Pendaftaran NPWP

Untuk mendapatkan NPWP Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) setempat dengan melampirkan:
  1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau foto kopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing.
  2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan :
    1. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing;
    2. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
  3. Untuk WP Badan :
    1. Fotokopi akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukkan dari kantor pusat bagi BUT;
    2. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus aktif;
    3. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang minimal kabupaten
Lurah atau Kepala Desa.
  1. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/ Pemotong:
    1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bendaharawan;
    2. Fotokopi surat penunjukkan sebagai bendaharawan.
  2. Untuk Kerja Sama Operasi sebagai wajib pajak Pemotong/pemungut:
    1. Fotokopi perjanjian kerja sama sebagai joint operation;
    2. Fotokopi NPWP masing-masing anggota joint operation;
    3. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus joint operation.
  3. Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus melampirkan foto kopi surat keterangan terdaftar.
  4. Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.

Wajib Pajak Pindah

Dalam hal Wajib Pajak pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha, Wajib Pajak melaporkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak lama maupun Kantor Pelayanan Pajak baru dengan ketentuan:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan Pindah tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah surat keterangan tempat tinggal baru atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru dari instansi yang berwenang (Lurah atau Kepala Desa)
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usaha, Surat keterangan tempat tinggal baru dari Lurah atau Kepala Desa, atau surat keterangan dari pimpinan instansi perusahaannya.
  3. Wajib Pajak Badan, Pindah tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha adalah surat keterangan tempat kedudukan atau tempat kegiatan yang baru dari Lurah atau Kepala Desa.

Penghapusan NPWP dan Persyaratannya

  1. WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya fotokopi akte kematian atau laporan kematian dari instansi yang berwenang;
  2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;
  3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak. Apabila sudah selesai dibagi, disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut dibagi oleh para ahli waris;
  4. WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte pembubaran yang dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang;
  5. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;
  6. WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP.

Penerbitan NPWP Secara Jabatan

KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan, apabila WP tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP. Bila berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP maka terhadap wajib pajak yang bersangkutan dapat diterbitkan NPWP secara sepihak oleh Direktorat Jenderal Pajak.GHH

Sanksi yang berhubungan dengan NPWP

Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. A.Berdasarkan PER-31 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pemotongan, Penyetoran PPh Pasal 21 Pasal 20;
1)Bagi penerima penghasilan yang PPh pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki NPWP
2)Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
3)Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final 4)Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghaslan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terhutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Akta Pengesahan Menteri Hukum dan HAM, RI

Contoh dokumen Akta Pengesahan Menteri Hukun dan HAM, RI

Akta Notaris

 

Akta Notaris adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris menurut KUH Perdata pasal 1870 dan HIR pasal 165 (Rbg 285) yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat. Akta Notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan KUH Perdata pasal 1866 dan HIR 165, akta notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat pembuktian yang utama sehingga dokumen ini merupakan alat bukti persidangan yang memiliki kedudukan yang sangat penting.

Akta-akta yang boleh dibuat oleh Notaris
  1. Pendirian Perseroan Terbatas (PT), perubahan juga Risalah Rapat Umum Pemegang Saham.
  2. Pendirian Yayasan
  3. Pendirian Badan Usaha - Badan Usaha lainnya
  4. Kuasa untuk Menjual
  5. Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Jual Beli
  6. Keterangan Hak Waris
  7. Wasiat
  8. Pendirian CV termasuk perubahannya
  9. Pengakuan Utang, Perjanjian Kredit dan Pemberian Hak Tanggungan
  10. Perjanjian Kerjasama, Kontrak Kerja
  11. Segala bentuk perjanjian yang tidak dikecualikan kepada pejabat lain

Macam - Macam Akta

Pasal 1 angka 7 UUJN ( undang- undang jabatan notaris) menyebutkan pengertian akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan didalam undang- undang ini. Berdasarkan pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa tentang penggolongan akta otentik terbagi menjadi beberapa macam yaitu:
  1. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum disebut juga akta relaas acten, yaitu akta yang berisikan berupa uraian notaris yang dilihat, disaksikan, dan dibuat notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak dilakukan dan dituangkan kedalam bentuk akta notaris. Kebenaran akta ini tidak dapat di ganggu gugat kecuali dengan menuduh bahwa akta itu palsu.
  2. Akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum disebut juga akta partij acten atau akta para pihak, yaitu akta yang berisikan keterangan yang dikehendaki oleh para pihak yang membuatnya atau menyuruh membuat akta itu, yang kebenaran isi akta tersebut oleh para pihak dapat diganggu gugat tanpa menuduh kepalsuan akta tersebut.
Menurut pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa agar suatu akta mempunyai kekuatan otentisitas, maka harus memenuhi beberapa syarat - syarat yaitu sebagai berikut:
  1. Aktanya itu harus di buat oleh atau dihadapan pejabat umum;
  2. Aktanya harus dibuat didalam bentuk yang ditentukan oleh undang - undang dan pejabat umum itu harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut.
Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara siding, proses siding, proses verbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian,dan sebagainya.

Akta Dibawah Tangan

Selain akta otentik dikenal juga akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Hal ini semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan saja. Bentuk akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang- undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang. Kekuatan / nilai pembuktian dari akta dibawah tangan mempunyai pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tesebut diserahkan kepada hakim.
Akta Dibawah Tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Hal ini semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan saja. Bentuk akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang- undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang. Kekuatan / nilai pembuktian dari akta dibawah tangan mempunyai pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tesebut diserahkan kepada hakim.
Akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.

Fungsi Akta Notaris

Selain itu akta juga mempunyai beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Akta sebagai fungsi formal yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila di buat suatu akta. Sebagai contoh perbuatan hokum harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil yaitu perbuatan hokum yang disebutkan dalam pasal 1767 KUHPerdata mengenai perjanjian uatang piutang. Minimal terhadap perbuatan hukum yang disebutkan dalam pasal 1767 KUHPerdata, disyaratkan adanya akta bawah tangan.
  2. Akta sebagai alat pembuktian dimana dibuatnya akta tersebut oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian di tujukan untuk pembuktian di kemudian hari. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak darinya tentang apa yang di muat dalam akta tersebut. Akta otentik juga merupakan bukti yang mengikat berarti kebenaran dari hal- hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selamaa kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Sebaliknya akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang- orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut di akui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak di pakai.(vide pasal 1857 KUHPerdata).

Akta Pendirian Usaha

Dalam badan usaha yang berbadan hukum berbentuk firma, persekutuan komanditer/CV maupun perseroan terbatas (PT) anda perlu membuat kesepakatan tersebut dituangkan dalam akta pendirian perusahaan yang dibuat dihadapan notaris.
Yang dimaksud dengan “membuat akta” di sini adalah hadir di hadapan para penghadap (subjek perjanjian), membacakan dan menanda-tangani akta tersebut.
Pembuatan akta pendirian dilakukan oleh notaris yang berwenang diseluruh wilayah negara Republik Indonesia untuk selanjutnya mendapatkan pesetujuan dari Menteri Kemenkumham.
Akta Pendirian Usaha : berisi profil perusahaan yang dibuat pendiri usaha dengan notaris dan disertai saksi-saksi yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat.
Dalam Akta Pendirian tercantum :
  1. Tanggal pendirian perusahaan
  2. Bentuk dan nama perusahaan
  3. Nama para pendiri
  4. Alamat tempat usaha
  5. Tujuan pendirian usaha
  6. Besar modal usaha
  7. Kepengurusan dan tanggungjawab anggota pendiri usaha
  8. Tahun buku, dll.
Akta pendirian tersebut dibubuhi materai, kemudian ditandatangani pendiri perusahaan, saksi dan notaris. Oleh notaris, akta pendirian tersebut didaftarkan ke pengadilan negeri setempat.

Tujuan Akta Pendirian Usaha Dibuat

  • Menghindari terjadinya perselisihan dikemudian hari mengenai pembagian keuntungan proporsi kerugian.
  • Memberikan kejelasan status kepemilikan perusahaan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perselisihan ketika saham akan dijual kembali ke mitra anda atau kepada orang lain serta proses penilaian pembelian saham.

Izin Mendirikan Bangunan (IMB)


Izin Mendirikan Bangunan atau biasa dikenal dengan IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. IMB merupakan salah satu produk hukum untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan, keselamatan, kenyamanan, sekaligus kepastian hukum. Kewajiban setiap orang atau badan yang akan mendirikan bangunan untuk memiliki Izin Mendirikan Bangunan diatur pada Pasal 5 ayat 1 Perda 7 Tahun 2009. 
IMB akan melegalkan suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah ditentukan. Selain itu, adanya IMB menunjukkan bahwa rencana kostruksi bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud untuk kepentingan bersama.
 

Dasar hukum IMB

Peraturan dan perundang-undangan yang memuat IMB adalah sebagai berikut:
  1. Undang-undang no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
  2. Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
  3. PP no. 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

UU no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

BAB IV. PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Pertama: Umum.
Pasal 7, ayat (1): "Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung."
Pasal 7, ayat (2): "Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan."
Bagian Kedua: Persyaratan Administratif Bangunan Gedung.
Pasal 8, ayat (1): "Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Pasal 8, ayat (4): "Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

BAB IV. TUGAS DAN WEWENANG.
Bagian Kesatu: Tugas.
Pasal 7, ayat (1): "Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Pasal 7, ayat (2): "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah."
Pasal 7, ayat (3): "Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
BAB VI. PELAKSANAAN PENATAAN RUANG.
Bagian Ketiga: Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Pasal 35: "Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi."
Pasal 37, ayat (1): "Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pasal 37, ayat (2): "Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pasal 37, ayat (3): "Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum."
Pasal 37, ayat (4): "Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya."
Pasal 37, ayat (5): "Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin."
Pasal 37, ayat (6): "Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak."
Pasal 37, ayat (7): "Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang."
Pasal 37, ayat (8): "Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah."
BAB VIII. HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT .
Pasal 60: "Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian."
Pasal 61: "Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang;"
Pasal 63: "Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat berupa:
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;"

PP RI no. 36 tahun 2005

BAB I. KETENTUAN UMUM.
Pasal 1: "Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
6. Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
7. Permohonan izin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan yang dilakukan pemilik bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung."
BAB II. FUNGSI BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Kedua: Penetapan Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 6, ayat (1): "Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL."
Pasal 6, ayat (2): "Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik bangunan gedung dalam pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 6, ayat (3): "Pemerintah daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, dalam izin mendirikan bangunan gedung berdasarkan RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL."
Bagian Ketiga: Perubahan Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 7, ayat (1): "Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung dapat diubah melalui permohonan baru izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 7, ayat (4): "Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam izin mendirikan bangunan gedung, kecuali bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah."
BAB III. PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Pertama: Umum.
Pasal 8, ayat (2): "Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung."
Bagian Kedua: Persyaratan Administratif Bangunan Gedung.
Paragraf 3: Status Kepemilikan Bangunan Gedung.
Pasal 13, ayat (1): "Kegiatan pendataan untuk bangunan gedung-baru dilakukan bersamaan dengan proses izin mendirikan bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung."
Paragraf 4: Izin Mendirikan Bangunan Gedung.
Pasal 14, ayat (1): "Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 14, ayat (2): "Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, melalui proses permohonan izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 14, ayat (3): "Pemerintah daerah wajib memberikan surat keterangan rencana kabupaten/kota untuk lokasi yang bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 14, ayat (4): "Surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:
a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;
b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB yang diizinkan;
d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;
e. KDB maksimum yang diizinkan;
f. KLB maksimum yang diizinkan;
g. KDH minimum yang diwajibkan;
h. KTB maksimum yang diizinkan; dan
i. jaringan utilitas kota."
Pasal 14, ayat (5): "Dalam surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan."
Pasal 14, ayat (6): "Keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung."
Pasal 15, ayat (1): "Setiap orang dalam mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib melengkapi dengan:
a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
b. data pemilik bangunan gedung;
c. rencana teknis bangunan gedung; dan
d. hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan."
Pasal 15, ayat (2): "Untuk proses pemberian perizinan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik."
Pasal 15, ayat (3): :Permohonan izin mendirikan bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis disetujui dan disahkan oleh bupati/walikota, kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh Gubernur, untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah dalam bentuk izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 15, ayat (4): "Izin mendirikan bangunan gedung merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas umum kabupaten/kota."
Bagian Ketiga: Persyaratan Tata Bangunan.
Paragraf 6: Pembangunan Bangunan Gedung di atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau prasarana/sarana umum.
Pasal 29: "Bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana dan sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan gedungnya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang."
Pasal 30, ayat (4): "Izin mendirikan bangunan gedung untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) selain memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15, wajib mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik."
BAB IV. PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Pertama: Pembangunan.
Paragraf 2. Perencanaan Teknis.
Pasal 63, ayat (5): "Dokumen rencana teknis bangunan gedung berupa rencana-rencana teknis arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata ruang-dalam, dalam bentuk gambar rencana, gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat administratif, syarat umum dan syarat teknis, rencana anggaran biaya pembangunan, dan/atau laporan perencanaan."
Pasal 64, ayat (1): "Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) diperiksa, dinilai, disetujui, dan disahkan untuk memperoleh izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 64, ayat (3): "Penilaian dokumen rencana teknis dilaksanakan dengan melakukan evaluasi terhadap pemenuhan persyaratan teknis dengan mempertimbangkan aspek lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung."
Pasal 64, ayat (7): "Persetujuan dokumen rencana teknis diberikan terhadap rencana yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk persetujuan tertulis oleh pejabat yang berwenang."
Pasal 65, ayat (1): "Dokumen rencana teknis yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7) dikenakan biaya izin mendirikan bangunan gedung yang nilainya ditetapkan berdasarkan klasifikasi bangunan gedung."
Pasal 65, ayat (2): "Dokumen rencana teknis yang biaya izin mendirikan bangunan gedungnya telah dibayar, diterbitkan izin mendirikan bangunan gedung oleh bupati/walikota, kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur, dan untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah."
Paragraf 4. Pelaksanaan Konstruksi.
Pasal 68, ayat (1): "Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik bangunan gedung memperoleh izin mendirikan bangunan gedung."
Bagian Kedua: Pemanfaatan.
Paragraf 1: Umum.
Pasal 72, ayat (1): "Pemanfaatan bangunan gedung merupakan kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam izin mendirikan bangunan gedung termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala."
Paragraf 5: Perpanjangan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 81, ayat (1): "Perpanjangan sertifikat laik fungsi bangunan gedung pada masa pemanfaatan diterbitkan oleh pemerintah daerah dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah tinggal deret, dan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun untuk bangunan gedung lainnya, berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis dan fungsi bangunan gedung sesuai dengan izin mendirikan bangunan gedung."
Bagian Keempat: Pembongkaran.
Paragraf 2: Penetapan Pembongkaran.
Pasal 91, ayat (2): "Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi;
b. bangunan gedung yang pemanfaatannya menimbulkan bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan lingkungannya; dan/atau
c. bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 91, ayat (6): "Untuk bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pemerintah daerah menetapkan bangunan gedung tersebut untuk dibongkar dengan surat penetapan pembongkaran."
BAB VI. PEMBINAAN.
Bagian Ketiga: Pembinaan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 112, ayat (1): "Pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan daerah di bidang bangunan gedung melalui mekanisme penerbitan izin mendirikan bangunan gedung dan sertifikasi kelaikan fungsi bangunan gedung, serta surat persetujuan dan penetapan pembongkaran bangunan gedung."
BAB VII: SANKSI ADMINISTRATIF.
Bagian Pertama: Umum/
Pasal 113, ayat (1): "Pemilik dan/atau pengguna yang melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah ini dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;
e. pembekuan izin mendirikan bangunan gedung;
f. pencabutan izin mendirikan bangunan gedung;
g. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
h. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
i. perintah pembongkaran bangunan gedung."
Bagian Kedua: Pada Tahap Pembangunan.
Pasal 114, ayat (2): "Pemilik bangunan gedung yang tidak mematuhi peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu masing-masing 7 (tujuh) hari kalender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa pembatasan kegiatan pembangunan."
Pasal 114, ayat (3): "Pemilik bangunan gedung yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selama 14 (empat belas) hari kalender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa penghentian sementara pembangunan dan pembekuan izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 114, ayat (4): "Pemilik bangunan gedung yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selama 14 (empat belas) hari kelender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa penghentian tetap pembangunan, pencabutan izin mendirikan bangunan gedung, dan perintah pembongkaran bangunan gedung."
Pasal 115, ayat (1): "Pemilik bangunan gedung yang melaksanakan pembangunan bangunan gedungnya melanggar ketentuan Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya izin mendirikan bangunan gedung."
Pasal 115, ayat (2): "Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran."
BAB VIII. KETENTUAN PERALIHAN.
Pasal 118: "Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini:
a. izin mendirikan bangunan gedung yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah dinyatakan tetap berlaku; dan
b. bangunan gedung yang belum memperoleh izin mendirikan bangunan gedung dari pemerintah daerah, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sudah harus memiliki izin mendirikan bangunan gedung."

Nilai lebih kepemilikan IMB

Bangunan yang telah ber-IMB memiliki kelebihan dibandingan dengan bangunan yang tidak ber-IMB, yakni:
  1. Bangunan memiliki nilai jual yang tinggi
  2. Jaminan Kredit Bank
  3. Peningkatan Status Tanah
  4. Informasi Peruntukan dan Rencana Jalan

Izin Mendirikan Bangunan online

Izin Mendirikan Bangunan online (IMB online) adalah pelayanan pembuatan IMB dengan sistem online. Semua pendaftaran akan dilakukan secara online melalui www.dppb.go.id sehingga pemohon tidak perlu datang ke kantor Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B). Sistem ini menghubungkan Dinas dengan Suku Dinas P2B hingga tingkat kecamatan. Pemohon tinggal memilih menu IMB rumah tinggal atau non-rumah tinggal. Setelah itu, pemohon memasukkan lampiran data berupa gambar bangunan yang dimaksud. Pengisian data harus lengkap. Jika tidak, permohonan akan tertolak. Selanjutnya, pemohon membayar retribusi ke Bank DKI. Setelah membayar, buktinya dipindai lalu dikirim.
Sistem IMB online diterapkan mulai 1 Februari 2014 dan diresmikan oleh Joko Widodo pada tanggal 13 Februari 2014. Penerapan sistem ini diharapkan dapat menekan praktik pencaloan dalam mendapatkan IMB. Menurut Kepala Dinas P2B DKI, Putu Indiana, sistem ini akan mampu memangkas hingga 50 persen waktu yang biasa diperlukan untuk mengurus IMB secara konvensional. Untuk menghindari celah bagi pembuat IMB palsu, verifikasi dokumen akan dilakukan saat pemohon mengambil sertifikat IMB di masing-masing kecamatan, yaitu setelah pemohon selesai membayar retribusi pembuatan IMB. Jika beberapa dokumen terdeteksi tidak sesuai seperti tujuan penggunaan bangunan, permohonan dapat ditolak dan pemohon bisa dikenakan sanksi pidana atas tuduhan pemalsuan dokumen.

Perizinan khusus

Perizinan pembangunan tempat ibadah

Pengurusan IMB untuk tempat ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006/nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
BAB I. KETENTUAN UMUM.
Pasal 1: "Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan:
3. Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
4. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan yang selanjutnya disebut Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
6. Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
7. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat.
8. Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat yang selanjutnya disebut IMB rumah ibadat, adalah izin yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat."
BAB II. TUGAS KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA.
Pasal 4, ayat (1): "Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota."
Pasal 4, ayat (2): "Pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor departemen agama kabupaten/kota."
Pasal 6, ayat (1): "Tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:
e. menerbitkan IMB rumah ibadat."
BAB IV. PENDIRIAN RUMAH IBADAT.
Pasal 13, ayat (1): "Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa."
Pasal 13, ayat (2): "Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan."
Pasal 13, ayat (3): "Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.
Pasal 14, ayat (1): "Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung."
Pasal 14, ayat (2): "Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota."
Pasal 14, ayat (3): "Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat."
Pasal 16, ayat (1): "Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat."
Pasal 16, ayat (2): "Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
Pasal 17: "Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah."
BAB V. IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG.
Pasal 18, ayat (1): "Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan:
a. laik fungsi; dan
b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat."
Pasal 18, ayat (2): "Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung."
Pasal 18, ayat (3): "Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. izin tertulis pemilik bangunan;
b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota."
BAB VI. PENYELESAIAN PERSELISIHAN.
Pasal 21, ayat (1): "Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat."
Pasal 21, ayat (2): "Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai, penyelesaian
perselisihan dilakukan oleh bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota."
Pasal 21, ayat (3): "Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat."
BAB IX. KETENTUAN PERALIHAN.
Pasal 28, ayat (1): "Izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini dinyatakan sah dan tetap berlaku."
Pasal 28, ayat (2): "Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB sepanjang tidak terjadi pemindahan lokasi."
Pasal 28, ayat (3): "Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau merniliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud."
Pasal 29: "Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama ini paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun."
BAB X. KETENTUAN PENUTUP.
Pasal 30: "Pada saat berlakunya Peraturan Bersama ini, ketentuan yang mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku."